Sunyi adalah perahu tanpa gelombang, serupa gondola
di akhir petang menunggu alunan yang memerang diantara Venezia dan Roma. Apa
pula kau sebut difabel kesempurnaan, padahal malam masih saja tanpa matahari
yang menggelagap diatap bambunya, menggerinjing suara detaknya. Segelas
Macchiato mendingin lima menit yang lalu, setelah kuselingi isak tawa yang tak
pernah terdengar di kedekatan siang. Menalun
cerita gladiator yang tak berkesudahan, memperebutkan jati diri yang entah
kemana tak pernah pulang. Aku seorang yang tak pernah ditemani lawan bicara,
seperti orang ataupun jalang. hanya ada kopi, dan sekerat maddle kumenyebutnya
tak pernah ada yang lain. Waktu itu turun hujan, kaca yang langsung terpampang
ke arah jalan mengembang lalu mengembun.
Venezia akhir-akhir ini memang tak pernah bersahabat
cuacanya, tak serupa musim lalu yang teramat panas rasanya. Sambil menunggu
reda, aku mengetuk cangkir espressoku yang ternyata masih tersisa, sekerat
maddle membuat perutku agak kenyang pantas memang, roti yang terbuat dari
tepung gandum ini diselingi keju dan fla capuccino di tengahnya serta ditaburi
irisan hazelnut dibagian toppingnya. Jam dinding menunjukkan pukul 22.00, tiga
jam sudah aku menghabiskan minggu malamku tanpa kepastian redanya hujan.
sebenarnya pelayan di coffe shop ini sudah menawarkan untuk meminjamkan payung
sejam yang lalu, Del Nero namanya aku mengenalnya sejak setahun yang lalu,
pertama kali aku diantar seorang tour guide ke coffe shop yang sudah membudaya
ritual minum kopi di negara ini. Akan tetapi, lima menit sebelum Del Nero
menawarkan payung, Telepon genggamku berbunyi dan jelas pesan singkat
terpampang dilayarnya “ Aku tidak jadi menginap di tempatmu, disini hujan
badai. Erika.”. Aku lebih betah berlama-lama diluar, di coffe shop seperti ini,
daripada di rumah harus sendiri. Del Nero kembali menghampiriku, menawariku
segelas espresso lagi untuk yang kedua kalinya, yang ini gratis katanya, tak
banyak basa-basi, aku menerimanya dengan senang hati dan dengan hanya sepuluh
detik aku menenggaknya.
Diluar masih hujan kaca semakin mengembun, jelas
terlihat tetesan airnya yang mulai mengalir satu persatu ditiap titiknya.
setelah segelas itu kandas, aku teringat dua puluh lima tahun yang lalu, ketika
aku berusia lima tahun waktu itu, ketika aku masih tinggal di sebuah negara
yang teramat kaya, hijau alamnya, ramah orang-orangnya dan jelas mempunyai
bendera kebangsaan berwarna merah diatasnya dan putih setengah bagian
dibawahnya. Waktu itu liburan sekolah dasar seminggu lamanya, aku yang baru
duduk dibangku kelas satu tak pernah berpikir kenapa sekolah bisa diliburkan,
padahal katanya menuntut ilmu itu wajib dari sejak lahir sampai menjelang ajal
kematian ah, entahlah. di sisi lain, aku senang walaupun hanya seminggu, aku
tidak akan bertemu dengan Egan dan Didi dua temanku yang jelas-jelas sering
melempar sebelah sepatuku ke atas genting sekolah, atau Luna dan Erika yang
selalu membawakan sarapan pagi dan menyuapiku dengan paksa sebelum lonceng
sekolah berbunyi. Selama liburan, pergi ke ladang menjadi mainanku ditiap sore,
bersama seorang kakek yang selalu mengajarkanku bagaimana cara bertahan hidup,
tidak hanya sekedar dengan omongan atau nasihat, tetapi dengan mencontohkan.
Hal yang paling aku senangi ketika di ladang adalah memetik butir-butir anggur
mini yang berwarna hijau kemerahan, yang tumbuh dengan liar disekitar ladang
yang sudah lama tidak dibersihkan, rasanya manis agak sedikit masam, aku
mengumpulkannya di saku celanaku untuk dibawa pulang ke rumah, untuk dibagi
dengan ibu. Kakek selalu mengajakku ke sungai setelah aku puas memetiki anggur
mini itu, sebelum adzan maghrib berkumandang. Airnya jernih, berbatu dan
arusnya lumayan deras untuk anak seusiaku ditambah ada pemandangan yang sangat
aku sukai, arus sungai itu menjadi tempat penyeberangan bagi kerbau-kerbau
hutan, setelahnya mencari makanan untuk kembali ke tempat peristirahatannya.
Bagaimana tidak, kerbau-kerbau hutan itu mempunyai teman yang sangat banyak tak
pernah sepertinya mereka kesepian atau saling berkelahi satu sama lain walaupun
mempunyai tanduk dikepalanya, serupa iblis-iblis jahat yang membawa tongkat
bermata tiga. Pernah suatu saat ketika aku berlari-lari disekitar ladang, aku
terjatuh ketika melompati sebuah parit kecil yang dibawahnya mengalir air untuk
irigasi ladang, betis kaki kananku berdarah hingga kakek panik dan berusaha
mencari dedaunan disekitarnya yang bisa menghentikan pendarahan kakiku, dan
akhirnya dengan dedaunan yang sebelumnya sudah dilumatkan, dikunyah oleh kakek,
pendarahan dikakiku bisa reda. Sangat kurindukan masa-masa kecil itu, penuh
dengan kasih sayang dari keluarga.
Del Nero mengagetkan aku dengan tepukan dipundakku,
membuat pikiran masa kecil itu berlalu dengan cepat, tangannya menunjuk ke arah
jam dinding yang waktu itu menunjukkan pukul 23.00 hujan masih belum reda,
gemericiknya bertambah deras terdengar. Disudut caffe shop hanya ada seorang
pria paruh baya bertopi yang baru saja memesan secangkir besar capuccino,
terlihat dari geriknya dia sedang menunggu seseorang, karena tak lama setelah
capuccinonya datang, dia kembali memesan secangkir macchiato. Aku perhatikan
dengan seksama, dia melambaikan tangan ke arahku dikeremangan, aku mencoba
beranjak dari tempat dudukku dan menghampirinya, ternyata dia adalah Parulo,
seorang tour guide yang setahun lalu mengantarkanku ke tempat ini, tepat
sebulan setelah aku menginjakkan kaki di Venezia ini, sebuah kota yang
mempunyai sungai yang indah dengan gondola yang mengapung diatas arus airnya
yang teramat tenang. Kami saling bertanya kabar dan kesibukan masing-masing,
sekitar lima belas menit kami berbincang seseorang yang kuduga sedang ditunggu
pria ini ternyata tak kunjung datang, segelas macchiato yang sudah tersaji lima
belas menit lalu itu sepertinya mulai mendingin beberapa menit lalu, entah
untuk siapa minuman itu, tetapi aku tak pernah berani untuk bertanya akan hal
itu. Aku menyudahi percakapanku, dan kembali ke tempat dudukku semula, sepasang
kursi dan meja tepat di depan jendela yang menghadap ke jalan, diluar angin
mulai bertiup melewatkan derasnya rintik-rintik hujan. Merasakan dinginnya,
mengingatkanku akan rumah. Rumahku terletak di tepi hutan, membelakangi
pohon-pohon besar yang meraksasa yang selalu bergoyang-goyang ketika hujan
angin besar datang, aku selalu mengintipnya dari balik jendela kawat yang
berkordenkan kain, melihatnya bergoyang-goyang dan membayangkan betapa kuat
angin menggetarkan pohon-pohon raksasa
itu. Pernah pada suatu saat ketika hujan angin datang disertai petir yang terus
menyambar, sebuah pohon raksasa itu tumbang dan tergeletak dengan luka
menghitam di batang utamanya, sepertinya dia terbakar oleh sambaran petir dan
dengan jelas dia tertidur dengan jarak tajuknya sekitar satu setengah meter
saja dari jendela rumahku, tempat biasa aku mengintipnya ketika hujan angin
datang.
Lonceng jam berbunyi, menandakan jam 24.00 disudut
caffe shop, parulo ditemani seseorang yang entah sudah berapa lama duduk
bersamanya, yang jelas setelah macchiatonya mendingin. diluar hujan mulai
mereda, suaranya terdengar amat pelan orang-orang berpayung mulai menutup
payungnya satu demi satu, berhamburan ditepian jalan. Del Nero dan dua orang
temannya mulai membereskan meja dan kursi, menandakan caffe shop sudah waktunya
ditutup. Notebook biruku aku matikan, kemudian aku masukkan kedalam tas. (Bersambung)