Kamis, 19 Desember 2013

BGSE 2013

"Indahnya alam Indonesia maharupa mahawarna hijau alamnya biru lautnya mewarna nyata..."
Beragam ekspresi menjadi satu, berbaur mempunyai warna satu persatu itulah kami, Bogor Green Sounds for The Earth. Bearanjak dari obrolan-obrolan malam, kopi, teh beserta pohon-pohon yang mematung disekitar halaman menggugah hati kami untuk gagah, mengajak pemuda pemudi Bogor untuk menjaga lingkungan melalui aksi nyata, aksi lain yang tak kalah cantik.ya, Musik!

bogorgreen.wordpress.com

Senin, 09 Desember 2013

Venezia Menuju Indonesia

Sunyi adalah perahu tanpa gelombang, serupa gondola di akhir petang menunggu alunan yang memerang diantara Venezia dan Roma. Apa pula kau sebut difabel kesempurnaan, padahal malam masih saja tanpa matahari yang menggelagap diatap bambunya, menggerinjing suara detaknya. Segelas Macchiato mendingin lima menit yang lalu, setelah kuselingi isak tawa yang tak pernah terdengar di kedekatan siang.  Menalun cerita gladiator yang tak berkesudahan, memperebutkan jati diri yang entah kemana tak pernah pulang. Aku seorang yang tak pernah ditemani lawan bicara, seperti orang ataupun jalang. hanya ada kopi, dan sekerat maddle kumenyebutnya tak pernah ada yang lain. Waktu itu turun hujan, kaca yang langsung terpampang ke arah jalan mengembang lalu mengembun.
Venezia akhir-akhir ini memang tak pernah bersahabat cuacanya, tak serupa musim lalu yang teramat panas rasanya. Sambil menunggu reda, aku mengetuk cangkir espressoku yang ternyata masih tersisa, sekerat maddle membuat perutku agak kenyang pantas memang, roti yang terbuat dari tepung gandum ini diselingi keju dan fla capuccino di tengahnya serta ditaburi irisan hazelnut dibagian toppingnya. Jam dinding menunjukkan pukul 22.00, tiga jam sudah aku menghabiskan minggu malamku tanpa kepastian redanya hujan. sebenarnya pelayan di coffe shop ini sudah menawarkan untuk meminjamkan payung sejam yang lalu, Del Nero namanya aku mengenalnya sejak setahun yang lalu, pertama kali aku diantar seorang tour guide ke coffe shop yang sudah membudaya ritual minum kopi di negara ini. Akan tetapi, lima menit sebelum Del Nero menawarkan payung, Telepon genggamku berbunyi dan jelas pesan singkat terpampang dilayarnya “ Aku tidak jadi menginap di tempatmu, disini hujan badai. Erika.”. Aku lebih betah berlama-lama diluar, di coffe shop seperti ini, daripada di rumah harus sendiri. Del Nero kembali menghampiriku, menawariku segelas espresso lagi untuk yang kedua kalinya, yang ini gratis katanya, tak banyak basa-basi, aku menerimanya dengan senang hati dan dengan hanya sepuluh detik aku menenggaknya.
Diluar masih hujan kaca semakin mengembun, jelas terlihat tetesan airnya yang mulai mengalir satu persatu ditiap titiknya. setelah segelas itu kandas, aku teringat dua puluh lima tahun yang lalu, ketika aku berusia lima tahun waktu itu, ketika aku masih tinggal di sebuah negara yang teramat kaya, hijau alamnya, ramah orang-orangnya dan jelas mempunyai bendera kebangsaan berwarna merah diatasnya dan putih setengah bagian dibawahnya. Waktu itu liburan sekolah dasar seminggu lamanya, aku yang baru duduk dibangku kelas satu tak pernah berpikir kenapa sekolah bisa diliburkan, padahal katanya menuntut ilmu itu wajib dari sejak lahir sampai menjelang ajal kematian ah, entahlah. di sisi lain, aku senang walaupun hanya seminggu, aku tidak akan bertemu dengan Egan dan Didi dua temanku yang jelas-jelas sering melempar sebelah sepatuku ke atas genting sekolah, atau Luna dan Erika yang selalu membawakan sarapan pagi dan menyuapiku dengan paksa sebelum lonceng sekolah berbunyi. Selama liburan, pergi ke ladang menjadi mainanku ditiap sore, bersama seorang kakek yang selalu mengajarkanku bagaimana cara bertahan hidup, tidak hanya sekedar dengan omongan atau nasihat, tetapi dengan mencontohkan. Hal yang paling aku senangi ketika di ladang adalah memetik butir-butir anggur mini yang berwarna hijau kemerahan, yang tumbuh dengan liar disekitar ladang yang sudah lama tidak dibersihkan, rasanya manis agak sedikit masam, aku mengumpulkannya di saku celanaku untuk dibawa pulang ke rumah, untuk dibagi dengan ibu. Kakek selalu mengajakku ke sungai setelah aku puas memetiki anggur mini itu, sebelum adzan maghrib berkumandang. Airnya jernih, berbatu dan arusnya lumayan deras untuk anak seusiaku ditambah ada pemandangan yang sangat aku sukai, arus sungai itu menjadi tempat penyeberangan bagi kerbau-kerbau hutan, setelahnya mencari makanan untuk kembali ke tempat peristirahatannya. Bagaimana tidak, kerbau-kerbau hutan itu mempunyai teman yang sangat banyak tak pernah sepertinya mereka kesepian atau saling berkelahi satu sama lain walaupun mempunyai tanduk dikepalanya, serupa iblis-iblis jahat yang membawa tongkat bermata tiga. Pernah suatu saat ketika aku berlari-lari disekitar ladang, aku terjatuh ketika melompati sebuah parit kecil yang dibawahnya mengalir air untuk irigasi ladang, betis kaki kananku berdarah hingga kakek panik dan berusaha mencari dedaunan disekitarnya yang bisa menghentikan pendarahan kakiku, dan akhirnya dengan dedaunan yang sebelumnya sudah dilumatkan, dikunyah oleh kakek, pendarahan dikakiku bisa reda. Sangat kurindukan masa-masa kecil itu, penuh dengan kasih sayang dari keluarga.
Del Nero mengagetkan aku dengan tepukan dipundakku, membuat pikiran masa kecil itu berlalu dengan cepat, tangannya menunjuk ke arah jam dinding yang waktu itu menunjukkan pukul 23.00 hujan masih belum reda, gemericiknya bertambah deras terdengar. Disudut caffe shop hanya ada seorang pria paruh baya bertopi yang baru saja memesan secangkir besar capuccino, terlihat dari geriknya dia sedang menunggu seseorang, karena tak lama setelah capuccinonya datang, dia kembali memesan secangkir macchiato. Aku perhatikan dengan seksama, dia melambaikan tangan ke arahku dikeremangan, aku mencoba beranjak dari tempat dudukku dan menghampirinya, ternyata dia adalah Parulo, seorang tour guide yang setahun lalu mengantarkanku ke tempat ini, tepat sebulan setelah aku menginjakkan kaki di Venezia ini, sebuah kota yang mempunyai sungai yang indah dengan gondola yang mengapung diatas arus airnya yang teramat tenang. Kami saling bertanya kabar dan kesibukan masing-masing, sekitar lima belas menit kami berbincang seseorang yang kuduga sedang ditunggu pria ini ternyata tak kunjung datang, segelas macchiato yang sudah tersaji lima belas menit lalu itu sepertinya mulai mendingin beberapa menit lalu, entah untuk siapa minuman itu, tetapi aku tak pernah berani untuk bertanya akan hal itu. Aku menyudahi percakapanku, dan kembali ke tempat dudukku semula, sepasang kursi dan meja tepat di depan jendela yang menghadap ke jalan, diluar angin mulai bertiup melewatkan derasnya rintik-rintik hujan. Merasakan dinginnya, mengingatkanku akan rumah. Rumahku terletak di tepi hutan, membelakangi pohon-pohon besar yang meraksasa yang selalu bergoyang-goyang ketika hujan angin besar datang, aku selalu mengintipnya dari balik jendela kawat yang berkordenkan kain, melihatnya bergoyang-goyang dan membayangkan betapa kuat angin  menggetarkan pohon-pohon raksasa itu. Pernah pada suatu saat ketika hujan angin datang disertai petir yang terus menyambar, sebuah pohon raksasa itu tumbang dan tergeletak dengan luka menghitam di batang utamanya, sepertinya dia terbakar oleh sambaran petir dan dengan jelas dia tertidur dengan jarak tajuknya sekitar satu setengah meter saja dari jendela rumahku, tempat biasa aku mengintipnya ketika hujan angin datang.

Lonceng jam berbunyi, menandakan jam 24.00 disudut caffe shop, parulo ditemani seseorang yang entah sudah berapa lama duduk bersamanya, yang jelas setelah macchiatonya mendingin. diluar hujan mulai mereda, suaranya terdengar amat pelan orang-orang berpayung mulai menutup payungnya satu demi satu, berhamburan ditepian jalan. Del Nero dan dua orang temannya mulai membereskan meja dan kursi, menandakan caffe shop sudah waktunya ditutup. Notebook biruku aku matikan, kemudian aku masukkan kedalam tas. (Bersambung)              

Jumat, 06 Desember 2013

SABANG

Titik terujung, titik terjauh darimana awal negara ini berdiri, dipijak dan dideklarasi sebagai kesatuan pulau-pulau maka disebutlah Indonesia. Titik terujung ternyata titik yang sangat menarik untuk kita sambangi, senyawai dan perasaan memiliki sebagai bagian yang nantinya akan diwariskan untuk anak cucu kita.. 

Titik terindah, semoga berujung indah.

Senin, 30 September 2013

Berkebun yuk...

Ada banyak cara mengisi waktu luang dari mulai jalan-jalan, malas-malasan, hingga mungkin kepo-in profil orang. tak menjadi masalah yang besar, selama dapat mengontrol dan agak meredakannya. biasalah, apalagi anak-anak muda yang mulai berbicara soal asmara. lain halnya dengan Indonesia.
 Kita semua tahu tanah-tanah di Indonesia terbilang subur jika dibandingkan dengan negara-negara di benua asia lainnya. Pulau jawa apalagi, banyak terhampar persawahan sebagai tanda pemasok bahan pangan utama di Indonesia. Bogor salahsatunya,  kota hujan yang sebentar lagi dibanjiri angkot. memang sepertinya kita harus mulai peka dan membuat terobosan baru sebagai metode yang solutif untuk pemda khususnya dan warga pada umumnya.

dari waktu luang, tanah subur, bogor, hujan, sayang sekali sepertinya jika sumberdaya yang ada tidak diarahkan kearah yang positif, berkebun misalnya. menanam, menghijaukan lingkungan sekitar syukur-syukur bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari kita akan buah, maupun sayuran. seperti teman-teman di asrama Sylvapinus, salahsatu asrama S1 reguler IPB yang terletak di desa Dramaga. di asrama ini ada sebuah klub berkebun yang diberi nama Sylvapinus Gardening Club (SGC). klub ini mengarahkan penghuni asrama ini untuk selalu mencoba bercocok tanam, seberapa luaspun lahan yang dimiliki tak menjadi masalah yang terpenting mau belajar berkebun belajar berproses dari mulai membuka lahan, menyemai benih, menanam, memupuk, hingga memanen untuk kemudian bisa disajikan dalam bentuk masakan sayuran misalnya.


Cabai salahsatunya, buah ini dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi untuk para penghuni asrama, sebagai pelengkap mie rebus, nasi goreng, bahkan sebagai bumbu rujak pun kegunaan lainnya.bermanfaatkan...Sembari mengisi luang, kita coba belajar berkebun, mencoba merasakan para petani, banyak cara yang bisa kita lakukan, ayo segera tanam, maka kelak kau akan menuai.

HADIAH MERAH

" Pernah suatu malam, tak ingat waktu tepatnya ada diantara dua manusia yang saling bertemu tak sengaja sepertinya, mereka telah berteman ternyata walau hanya di dunia maya dua tahun yang lalu. dan pada malam itu berpapasan saling sapa antara satu sama lain dengan kecanggungan masing-masing. obrolan dibuka dengan saling memperkenalkan nama, walaupun sudah bisa saling baca nama satu sama lain. Malam semakin larut begitupun dengan kecanggungan kedua anak manusia itu, larut bersama suasana yang mencair dingin. entah kapan mereka akan bertemu kembali karena terpaut jarak yang sebenarnya tak berlaku di dunia mereka...."

Diselasar tikar ini tak ada beda antara petang panjang dengan senja kala, tetap berkata-kata seperti tak pernah ada jeda. Apa benar tadi turun hujan? atau sekedar gerimis saja yang menangisi bayanganmu yang sebentar lagi mati. Apa kau tahu bayangan? budakmu yang selalu menemani kemana saja kau meninjau, seringkali ia bersetubuh dengan dingin, apalagi gemerlap gelap.
Di semalam seribu malam yang aku tunggui tangga serotonin dan endorpin yang aku jaga sengaja, setetesnyapun tak kubiarkan menggantikan aliran darah ibuku yang mengalir di nadinya. Tetapi kau menyalakannya begitu saja, memadu satu menjadikan dini itu seperti batu. Telah aku ketuk pintu yang menurutku gerbang yang menghening sebening es yang berdenting dan akan terus membeku baku jikalau tak aku panasi dengan bara api yang mengobar. Kau ungkap seriap kata yang mengasing walau tak serba luning bagi bayangan endorpinku, begitupun serotoninku yang mulai memilin.
Teramat melelahkan dini itu, setelah sebelumnya malam dan rembulan bergumul penuh hasrat di perapian dekat dermaga yang baru roboh tiga menit yang lalu, tetapi tak seperti mati yang lalu, suri ini, ya kali ini sepertinya akan mengucurkan banyak darah dari kedua rahimku setelah tamumu yang lain memergokiku sedang mencumbu ari-ari yang kau sajikan entah untuk siapa di ruang tamu.
Ah, menungguimu seolah hal yang percuma, berjalan sepanjang rel kereta dan sesekali duduk di perapian bersama bocah-bocah lusuh yang dipenuhi "raja singa" membiarkanku mati dengan sendirinya.
Detak detik menemui titik, diam menenggelam sekelam memalam dini itu, pintu-pintu menyulam alam. menyilami ranjang panjang yang aku ikat pekat kedua tanganmu yang rungu di deret kayunya.

Untukmu yang aku salahi ketukannya, dapatkah kau ikuti abneaku malam ini sayang?
"CS"

Sabtu, 28 September 2013

Pinton Pohon

Getar-getar jari gitar bersenar sebinar purnama malam yang aku janjikan hangat bersama secangkir kikir teh penghangat penat, di sana ada aku dan pena yang berbayang tinta berita lama.
Ada yang berbeda pada sore itu,dedaunan mau saja diterbangkan angin padahal kutilang pun tak bersetubuh dengannya.Apa jadinya malam jikalau purnama saja yang terpandang di berandanya,tak berdatang dan tak berpulang begitupun tak beraroma serindunya sedap malam kepada lampu. Pepohonan seperti terdiam,entah apa yang mereka pikirkan aku ataukah dirimu? atau secangkir susu hangat barangkali. Apakah kau kedinginan dini ini?bicara saja,biarkan purnama yang temani rerama malam sampai senja.aku suguhkan saja untukmu obrolan singkat khas seribu satu malam yang tak kau akan dapatkan di duniamu sekarang.Tapi,bukankah seratus tahun silam kau minta aku ajarkan cara bercumbu yang paling asing? kalau kau siap,jejarkan saja kulit-kulit bibirmu yang lentik,kita bercumbu saja malam ini,dini ini,siang ini sampai purnama mual melihatnya, dibawah pohon dan tuhan.
Lelangit kosong saja yang bohong kepada nada tangga-tangga yang dijinggai beribu pelampiasan embun menjadi batu,padahal dini ini kita sedang bimbang bertukar latar tentang musik-musik yang kita pelajari dari mimpi.
Cukupkan saja kita tata dunia kita dengan membeda antara aku,pohon dan tuhan yang selalu senang aku cumbui berpohon lakon.
Untukmu yang tak buta rasa, masihkah kau kehujanan sayang?

Minggu, 21 Juli 2013

De Javu


  
Kalo inget puisi ini jadi inget suasana kuliah, ada macam- macam aktivitas yang dilakukan ketika dosen menjelaskan mata kuliah, ya sesuai dengan passion masig-masing. Ada yang passion nya bermimpi, maka tidur, yang passion nya belajar ya merhatiin dosen, yang passion nya jadi wirausaha ya jualan di dalam kelas, ya termasuk saya yang passion nya coba-coba ya corat-coret.hasilnya ya begini jadi kumpulan kata-kata yang kata para pembaca dan pemakna kata katanya kata-katanya sulit diungkapkan dengan kata-kata. ini salahsatunya,  pahlawanku ketika tampil di adu gengsi..


Entah Aku Entah Berantah
Oleh: A. Salman Alfarisi


Masuk dalam kekakuan hipno tak bertuhan, menjalar pleno-pleno malam yang mulai beruban
Menjelajah sebatang lorong dan jejawut yang selalu kalang kawut , diantara rambut sampai rona rumput
Kolibri ranjang, semangkuk arang hingga seungguk tangga yang tak pernah bisa terbaca berbata-bata
Kapling-kapling guling berdesakan menjadi isteri, bersuling, berkeliling, tak terinjak anjing-anjing maling
Deretan kartu dewa yang selalu ramai didendangkan dawai, kadang bercerai hingga saat ini pun berubah ramah menjadi marah
Dinding keramik basah, reunian orang-orang susah, berkumpul pikul meniti simpul, tapi bukan simpul mati!

Didalamnya, aku menghabiskan rakaat berabad-abad, bertasbih-tasbih dzikir dari mahir sampai kini mulai kikir
Sajadah tangan ini yang tak pernah lagi aku setubuhi, mulai pikun, berlari dengan bahasa-bahasa kemangi
Belajar kata-kata, kemudian aku terlupa, manja disiksa, pergi dicari, janji dimaki, melebur bersama-sama hancur tak terukur
Aku bebal dengan pepatah darah yang tertangkap diujung hidung dan terkulai sepi dalam segelas kopi

Kutanyakan lagi kartu-kartu dewa yang mulai papa bersama perkusi setan yang menertawakan aku dan tuhan
Tak tahu malu aku, menantang ranjang yang di kebiri, bersama rumput dekat dengan aduan tuhan
Entah sampai tubuhku yang menjadi batu ataupun tuhan yang tak pernah rela aku tertidur diragaku
Aku tak tahu dimana aku yang selalu rindu dengan tuhan, ibu dan bapakku.

                                                                                                                          Mahatan, 2012