Senin, 09 Desember 2013

Venezia Menuju Indonesia

Sunyi adalah perahu tanpa gelombang, serupa gondola di akhir petang menunggu alunan yang memerang diantara Venezia dan Roma. Apa pula kau sebut difabel kesempurnaan, padahal malam masih saja tanpa matahari yang menggelagap diatap bambunya, menggerinjing suara detaknya. Segelas Macchiato mendingin lima menit yang lalu, setelah kuselingi isak tawa yang tak pernah terdengar di kedekatan siang.  Menalun cerita gladiator yang tak berkesudahan, memperebutkan jati diri yang entah kemana tak pernah pulang. Aku seorang yang tak pernah ditemani lawan bicara, seperti orang ataupun jalang. hanya ada kopi, dan sekerat maddle kumenyebutnya tak pernah ada yang lain. Waktu itu turun hujan, kaca yang langsung terpampang ke arah jalan mengembang lalu mengembun.
Venezia akhir-akhir ini memang tak pernah bersahabat cuacanya, tak serupa musim lalu yang teramat panas rasanya. Sambil menunggu reda, aku mengetuk cangkir espressoku yang ternyata masih tersisa, sekerat maddle membuat perutku agak kenyang pantas memang, roti yang terbuat dari tepung gandum ini diselingi keju dan fla capuccino di tengahnya serta ditaburi irisan hazelnut dibagian toppingnya. Jam dinding menunjukkan pukul 22.00, tiga jam sudah aku menghabiskan minggu malamku tanpa kepastian redanya hujan. sebenarnya pelayan di coffe shop ini sudah menawarkan untuk meminjamkan payung sejam yang lalu, Del Nero namanya aku mengenalnya sejak setahun yang lalu, pertama kali aku diantar seorang tour guide ke coffe shop yang sudah membudaya ritual minum kopi di negara ini. Akan tetapi, lima menit sebelum Del Nero menawarkan payung, Telepon genggamku berbunyi dan jelas pesan singkat terpampang dilayarnya “ Aku tidak jadi menginap di tempatmu, disini hujan badai. Erika.”. Aku lebih betah berlama-lama diluar, di coffe shop seperti ini, daripada di rumah harus sendiri. Del Nero kembali menghampiriku, menawariku segelas espresso lagi untuk yang kedua kalinya, yang ini gratis katanya, tak banyak basa-basi, aku menerimanya dengan senang hati dan dengan hanya sepuluh detik aku menenggaknya.
Diluar masih hujan kaca semakin mengembun, jelas terlihat tetesan airnya yang mulai mengalir satu persatu ditiap titiknya. setelah segelas itu kandas, aku teringat dua puluh lima tahun yang lalu, ketika aku berusia lima tahun waktu itu, ketika aku masih tinggal di sebuah negara yang teramat kaya, hijau alamnya, ramah orang-orangnya dan jelas mempunyai bendera kebangsaan berwarna merah diatasnya dan putih setengah bagian dibawahnya. Waktu itu liburan sekolah dasar seminggu lamanya, aku yang baru duduk dibangku kelas satu tak pernah berpikir kenapa sekolah bisa diliburkan, padahal katanya menuntut ilmu itu wajib dari sejak lahir sampai menjelang ajal kematian ah, entahlah. di sisi lain, aku senang walaupun hanya seminggu, aku tidak akan bertemu dengan Egan dan Didi dua temanku yang jelas-jelas sering melempar sebelah sepatuku ke atas genting sekolah, atau Luna dan Erika yang selalu membawakan sarapan pagi dan menyuapiku dengan paksa sebelum lonceng sekolah berbunyi. Selama liburan, pergi ke ladang menjadi mainanku ditiap sore, bersama seorang kakek yang selalu mengajarkanku bagaimana cara bertahan hidup, tidak hanya sekedar dengan omongan atau nasihat, tetapi dengan mencontohkan. Hal yang paling aku senangi ketika di ladang adalah memetik butir-butir anggur mini yang berwarna hijau kemerahan, yang tumbuh dengan liar disekitar ladang yang sudah lama tidak dibersihkan, rasanya manis agak sedikit masam, aku mengumpulkannya di saku celanaku untuk dibawa pulang ke rumah, untuk dibagi dengan ibu. Kakek selalu mengajakku ke sungai setelah aku puas memetiki anggur mini itu, sebelum adzan maghrib berkumandang. Airnya jernih, berbatu dan arusnya lumayan deras untuk anak seusiaku ditambah ada pemandangan yang sangat aku sukai, arus sungai itu menjadi tempat penyeberangan bagi kerbau-kerbau hutan, setelahnya mencari makanan untuk kembali ke tempat peristirahatannya. Bagaimana tidak, kerbau-kerbau hutan itu mempunyai teman yang sangat banyak tak pernah sepertinya mereka kesepian atau saling berkelahi satu sama lain walaupun mempunyai tanduk dikepalanya, serupa iblis-iblis jahat yang membawa tongkat bermata tiga. Pernah suatu saat ketika aku berlari-lari disekitar ladang, aku terjatuh ketika melompati sebuah parit kecil yang dibawahnya mengalir air untuk irigasi ladang, betis kaki kananku berdarah hingga kakek panik dan berusaha mencari dedaunan disekitarnya yang bisa menghentikan pendarahan kakiku, dan akhirnya dengan dedaunan yang sebelumnya sudah dilumatkan, dikunyah oleh kakek, pendarahan dikakiku bisa reda. Sangat kurindukan masa-masa kecil itu, penuh dengan kasih sayang dari keluarga.
Del Nero mengagetkan aku dengan tepukan dipundakku, membuat pikiran masa kecil itu berlalu dengan cepat, tangannya menunjuk ke arah jam dinding yang waktu itu menunjukkan pukul 23.00 hujan masih belum reda, gemericiknya bertambah deras terdengar. Disudut caffe shop hanya ada seorang pria paruh baya bertopi yang baru saja memesan secangkir besar capuccino, terlihat dari geriknya dia sedang menunggu seseorang, karena tak lama setelah capuccinonya datang, dia kembali memesan secangkir macchiato. Aku perhatikan dengan seksama, dia melambaikan tangan ke arahku dikeremangan, aku mencoba beranjak dari tempat dudukku dan menghampirinya, ternyata dia adalah Parulo, seorang tour guide yang setahun lalu mengantarkanku ke tempat ini, tepat sebulan setelah aku menginjakkan kaki di Venezia ini, sebuah kota yang mempunyai sungai yang indah dengan gondola yang mengapung diatas arus airnya yang teramat tenang. Kami saling bertanya kabar dan kesibukan masing-masing, sekitar lima belas menit kami berbincang seseorang yang kuduga sedang ditunggu pria ini ternyata tak kunjung datang, segelas macchiato yang sudah tersaji lima belas menit lalu itu sepertinya mulai mendingin beberapa menit lalu, entah untuk siapa minuman itu, tetapi aku tak pernah berani untuk bertanya akan hal itu. Aku menyudahi percakapanku, dan kembali ke tempat dudukku semula, sepasang kursi dan meja tepat di depan jendela yang menghadap ke jalan, diluar angin mulai bertiup melewatkan derasnya rintik-rintik hujan. Merasakan dinginnya, mengingatkanku akan rumah. Rumahku terletak di tepi hutan, membelakangi pohon-pohon besar yang meraksasa yang selalu bergoyang-goyang ketika hujan angin besar datang, aku selalu mengintipnya dari balik jendela kawat yang berkordenkan kain, melihatnya bergoyang-goyang dan membayangkan betapa kuat angin  menggetarkan pohon-pohon raksasa itu. Pernah pada suatu saat ketika hujan angin datang disertai petir yang terus menyambar, sebuah pohon raksasa itu tumbang dan tergeletak dengan luka menghitam di batang utamanya, sepertinya dia terbakar oleh sambaran petir dan dengan jelas dia tertidur dengan jarak tajuknya sekitar satu setengah meter saja dari jendela rumahku, tempat biasa aku mengintipnya ketika hujan angin datang.

Lonceng jam berbunyi, menandakan jam 24.00 disudut caffe shop, parulo ditemani seseorang yang entah sudah berapa lama duduk bersamanya, yang jelas setelah macchiatonya mendingin. diluar hujan mulai mereda, suaranya terdengar amat pelan orang-orang berpayung mulai menutup payungnya satu demi satu, berhamburan ditepian jalan. Del Nero dan dua orang temannya mulai membereskan meja dan kursi, menandakan caffe shop sudah waktunya ditutup. Notebook biruku aku matikan, kemudian aku masukkan kedalam tas. (Bersambung)              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar