Kamis, 20 Juni 2013


BU-NGA (tumbuh)

Ingatkah, seperti mereka tumbuh di halaman kita juni itu berwarna putih kekuningan, lalu aku perawani mereka dengan keluguanku kala itu. Menghisapinya dengan senyum yang puas bersama batu-batu kecil yang padu. Kau tak pernah marah, atau sekedar mengangkat alis matamu yang indah itu dan kau wariskan padaku. Atau ketika aku mencoba mewarna tuhan di balik birunya langit yang kau sebut pangeran. Atau ketika aku bersenda dengan belalang-belalang di ladang menghabiskan waktumu seharian. Adalah senja kala itu, ketika kau terjatuh dan aku berdiri disana membuatkan secangkir kopi dingin kesukaanmu yang biasa kau bagi dengan aku dan lelayang terbang.

Telah lama aku curi tentang dia seratus hari yang silam bu, ketika penjara suci masih terlalu dini. Kita memang berbeda kota dan raga, tapi adakah lima kota kita berbicara tentang beda atau sama? Sedang , kau tata aku menada kata, berbahasa prosa, atau sekedar bertukar latar. Padahal dia semerbak melati, tiada begitu dengan aku. Tapi apakah kau tahu, kini tiada ke tiada seketika kita tak ada kata dari mata ke mata. Benar katamu bu, emosi terjalin dari mata menurun kata. Kini aku tiada lagi tahu tentang dia setelah pertemuan di shubuh yang lusuh.Tapi, Aku masih anakmu kan bu?

Mungkin masih ada potretnya di dompetku bu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar